sholawat

sholawat

Minggu, 05 Maret 2017

MAKALAH TENTANG PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB   AL-ATTAS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dunia Islam akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai permasalahan seputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang sangat menuntut upaya pemecahan secara mendesak. Bahkan menurut sinyalemen al-Faruqi, krisis    dalam aspek pendidikan inilah yang paling buruk dialami oleh dunia Islam. Memerhatikan permasalahan yang sangat kompleks ini, Syed Muhammad          al-Naquib al-Attas memberikan analisis bahwa “yang menjadi penyebab kemunduran dan degenerasi kaum muslimin justru bersumber dari kelainan mereka dalam merumuskan dan mengembangkan rencana pendidikan yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip Islam secara terkoordinasikan dan terpadu.
Memerhatikan itu semua kiranya para cendekiawan muslim di bidang pendidikan Islam perlu mengembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan mengintegrasikan pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang dengan melibatkan barbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara para pemikir dan intelektual muslim dunia yang cukup produktif saat ini tercatalah seorang tokoh keturunan Arab dan Sunda (Indonesia) yang menjadi warga negara Malaysia, yakni Prof. DR. Syed Muhammad al-Naquib al-Attas. Selain terkenal sebagai pengkaji sejarah, teologi, filsafat, dan tasawuf yang serius, ia juga terkenal sebagai pemikir pendidikan Islam yang brilliant.
      Dengan dilatarbelakangi berbagai penjelasan di atas, kiranya sangat relevan dan beralasan kalau penelitian terhadap reformulasi konseptual filosofis pendidikan Islam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas ini dilakukan, guna dapat memberikan nilai tambah terhadap konsep dan system pelaksanaan pendidikan dewasa ini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya.                                                   



1.2  Rumusan Masalah
1.      Profil Syed Muhammad Naquib Al-Attas ?
2.      Bagaimana karakteristik pemikiran Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan islam ?
3.      Bagaimana kurikulum dan metode pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui profil lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
2.      Untuk mengetahui bagaimana karakteristik pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
3.      Untuk mengetahui kurikulum dan metode pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.















BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia masih berada dibawah kolonialisme Belanda. Jika dilihat dari garis keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung, sebab dari kedua belah pihak baik pihak ayah maupun ibu sama-sama merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan di Johor.[1]Dalam tradisi Islam, orang yang mendapat gelar Syed merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan, yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Disini ia melanjutkan pendidikan di sekolah Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Al-Attas mulai memahami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.Terusik oleh panggilan hati nuraninya untuk mengamalkan ilmunya yang telah ia peroleh di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia, Al-Attas memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran ini Al-Attas telah menunjukkan kelasnya sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia belajar di berbagai sekolah militer di Inggris.Bahkan ia sempat mengenyam pengalaman yang merupakan salah satu akademi yang bergengsi di Inggris.[2]
Setelah Malaysia merdeka pada tahun 1957, Al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya, yakni bidang intelektual. Untuk itu, Al-Attas sempat masuk universitas malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untukmelanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, MacGill Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962 dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujudiyyah  of 17th Century Aceh. Dia sangat tertarik praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia sehingga cukup wajar bila tesis yang diangkat adalah konsep Wujudiyyah al-Raniry. Salah satu alasannya adalah dia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri.[3]
Belum puas dengan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Disinilah ia bertemu dengan Lings, seorang professor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diriAl-Attas, walaupun ia hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) di bawah bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.Salah satu pengaruh yang besar dalam diri Al-Attas adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis, dan psikologis. Asumsi dasar inilah yang pada perkembangan selanjutnya dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Al-Attas sendiri.Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu. Sebab mangkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yangberisi ajaran-ajaran Islam dan kebanyakan yang dibicarakan dalam ajaran-ajaranIslam terutama tasawuf.[4]
Berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak bisa dilepaskan dari peranannya. Karena Al-Attas sangat intens dalam memasyarakatkan budaya Melayu, bahasa pengantar yang digunakan dalam universitas tersebut adalah bahasa Melayu. Hal ini, oleh Al-Attas dimaksudkan agar di samping melestarikan nilai-nilai keislaman juga menggali tradisi intelektual Melayu yang syarat dengan nilai Islam. Bahkan, pada pertengahan tahun 70-an Al-Attas menentang keras kebijakan pemerintah yang berupaya menghilangkan pengajaran bahasa Melayu Jawi di pendidikan dasar dan lajutan Malaysia. Sebab, dengan penghilangan tersebut berarti telah terjadi penghapusan sarana Islamisasi yang paling strategis.
Pada April 1977, Al-Attas menyampaikan sebuah makalah yang berjudul Premilinary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Educationc di hadapan peserta Konferensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam di Makkah al-Mukarramah. Dengan orasi yang meyakinkan, banyak peserta yang memberikan respon positif. Salah satu respons tersebut adalah diterimanya ide tersebut oleh Organisasi Konferensi Islam. Selanjutnya, sebagai realisasi dari ide-ide cemerlang Al-Attas, OKI memberi kepercayaan kepadanya untuk mendirikan sebuah Universitas Internasional di Malaysia pada tahun 1984.
Konsep universitas ini sama dengan universitas lainnya. Hanya saja yang sedikit membedakannya adalah dengan tambahan pengajaran dasar-dasar Islam dan bahasa Arab. Agar mahasiswa dapat menyaring konsep yang tidak Islami sehingga Islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa bukan terhadap disiplin keilmuwan itu sendiri. Belakangan konsep Universitas Internasional ini berubah ke lebih dekat dengan IIIT (International Institute of Islamic Thought) dengan Islamisasi disiplin keilmuan. Merasa tidak sejalan dengan kebijaksanaan rektorat, Al-Attas berusaha mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1988 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) dengan Al-Attas sebagai ketuanya.[5]
2.2  Karakteristik Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
      Pemikiran pendidikan islam yang dimaksud adalah realisasi dari hasil olah pikir filosofis pemikiran pendidikan islam al-attas yang diperoleh dari usaha mengolaborasi berbagai kitab klasik dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi dengan demikian bahwa semua pemikiran al-Attas tentang pendidikan islam merupakan paradigma (model) pendidikan islam al-Attas tersebut. Didalam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, islam itu harus selalu memberi arah terhadap hidup kita, agar umat islam terhindar dari pengaruh pemikiran-pemikiran barat dan orientalis yang menyesatkan.[6] Disamping itu, al-Attas sebagai penggagas Islamisasi ilmu. Memprihatinkan kondisi objektif terhadap sunia islam, terutama pada sistem dan pelaksanaan pendidikan islamnya, maka beliau banyak mengemukakan konsep mengenai awal formulasi pendidikan islam, diantaranya :
1.    Gagasan Tentang Manusia
Dalam pendidikan (islam), hakikat dan fungsi manusia sangat penting, sebagai objek sekaligus subjek dari pendidikan tersebut. Karena pendidikan dalam islam mengkhususkan untuk manusia saja. Menurut al-attas manusia adalah binatang rasional, rasional itu mengacu pada nalar sehingga muncul istilah al-Hayawan al-Natiq. Istilah buat manusia, Natiq berarti rasional namun manusia juga mempunyai batin yang mampu merumuskan makna-makna (dzu nutq). Selanjutnya natiq dan nutuq adalah “pembicaraan”.
Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an bahwa manusia mempunyai jiwa dan raga yang terwujud dalam fisik dan roh.[7] Sebelum berbentuk makhluk jasmani, manusia itu telah mengikat janji akan mengakui Allah saja sebagai Tuhannya. Perjanjian suci tersebut mempunyai konsekuensi untuk selalu mengikuti kehendak Allah SWT, akan tetapi setelah lahir manusia itu lupa kepada janjinya itu. Dalam bahasa lain bahwa perjanjian itu adalah agama (din) dengan kepatuhan yang sejati (aslama), keduanya saling melengkapi dalam sifat dan hakikat manusia yang disebut sebagai fitrah.[8]
Dalam diri manusia itu membawa potensi untuk beragama, yang berarti kepatuhan secara total kepada Allah SWT. Dan tidak ada agama yang sejati tanpa adanya sikap pasrah/penyerahan diri atau islam.[9] Jadi tujuan sejati dari manusia itu adalah mengikuti dan mengabdi kepada Allah SWT (ibadah). sedangkan islam adalah way of life yang lengkap.[10] Dari penjelasan tersebut terlihat betapa kompleks dan komplitnya tugas dan fungsi manusia, yang kesemuanya merupakan usaha menjalankan fungsinya sebagai abdun lillah dan khalifah Allah dimuka bumi yang harus dilengkapi dengan fasilitas dan kemampuan yang mapan dan berkualitas tinggi.

2.    Gagasan Tentang Tarbiyah, Ta’lim, Ta’dib
     Terma tarbiyah, ta’lim, ta’dib adalah suatu terma yang disepakati kalangan dunia pendidikan islam untuk dijadikan istilah pendidikan islam, dan yang terbanyak dipakai adalah terma tarbiyah. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai kitab, lembaga dan lain-lain yang berhubungan dengan pendidikan seperti al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kulliyah al-Tarbiyah dan qaumus al-Tarbiyah.
     Dalam bahasa inggris disebut education dan educate dan latinnya education dan educare yang menurut al-Attas berarti menghasilkan, mengembangkan dan mengacu kepada sesuatu yang bersifat fisik dan material. Al-Attas mengkritik orang-orang yang menggunakan istilah tarbiyah. Menurut al-Attas terma tarbiyah bukanlah terma yang tepat dan benar untuk pendidikan islam. Tarbiyah katanya terjemahan dari kata education yang katanya hanya mementingkan fisik material saja sesuai dengan masyarakat, manusia dan negaranya yang bersifat sekuler, karena dalam kajiannya terhadap kitab-kitab klasik ternyata tidak ada yang menggunakan terma tarbiyah dengan makna pendidikan.
     Namun menurut al-Attas pengembangan dari kata tarbiyah itu hanyalah atas dugaan belaka, dan bahkan tidak disebutkan secara jelas disebutkan didalam Al-Qur’an, dan tidak ditemukan dalam semua kosakata-kosakata bahasa arab besar dikenal dengan medan semantic. Menurut al-Attas,tarbiyah pada dasarnya berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, menjadikannya bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Dalam bahasa arab penerapannya tidak hanya pada manusia saja, namun juga untuk spesies-spesies lain, untuk tanaman, mineral, dan hewan.
    
     Istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas pendidikan islam adalah ta’lim. Dalam sejarah pendidikan islam, terma al-mu’allim telah digunakan untuk istilah pendidik pada jenjang tertentu. Burhanuddin al-Zarnuji mengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, beberapa seminar tentang pendidikan islam abad modern juga menggunakan istilah Ta’lim. Semua hal diatas, setidaknya memberi pengetahuan terhadap penggunaan istilah al-ta’lim secara luas yang mengarah pada pengertian kegiatan pendidikan. Cakupan yang terkandung dalam istialah Ta’lim lebih luas dari yang tercakup dalam Tarbiyah, yang terbatas pada pendidikan dan pengajaran pada masa awal atau masa bayi. Istilah Ta’lim diartikan sebagai menanam pengetahuan, pemahaman, pengertian tanggung jawab dan amanah, sehingga terjadi pembersihan diri dari segala kotoran dan menjadikan diri seseorang dalam kondisi yang siap untuk menerima al-hikmah serta mempelajari hal-hal yang belum diketahuinya dan berguna bagi dirinya.
     Pendapat tentang cakupan ta’lim di atas, tidak sejalan dengan pendapat Syed Muhammad Naquid al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta’lim lebih cenderung pada aktivitas pengajaran, bahkan lebih jauh dikatakannya bahwa aspek kognitif yang dijangkau tidak memberikan posisi pengenalan secara mendasar. Syed Muhammad Naquib al-Attas , menawarkan hasil pemikirannya yang berkaitan penggunaa istilah yang dianggapnya dapat menggambarkan pengertian pendidikan islam dalam keseluruhan esensinya. Istilah yang diajukan sudah mengandung arti ilmu, pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan (tarbiyah). Istilah tersebut adalah ta’dzib , yang menurut pendapatnya beberapa aspek yang menjadi hakikat pendidikan yang saling terkait. Seperti yang dipaparkannya berbagai konsep kunci yang membangun kosa kata dasar sistem konseptual islam.
      Dalam sebuah definisi, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan didalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan.
     Dengan demikian Syed Muhammad Naquib al-Attas mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”, yang disebut dengan istilah ta’dzib.Oleh karena itu, orang-orang yang benar terpelajar menurut perspektif islam diberi definisi oleh al-Attas sebagai orang yang beradab.

3.    Gagasan Tentang Definisi Pendidikan Islam
     Menurut Syed Muhammad Naquid Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia[11] yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan, yaitu proses, kandungan, dan penerima. Jadi definisi pendidikan islam ialah pengenalan dan pengalaman yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan itu hanya untuk manusia saja.
     Dalam pandangan al-Attas pendidikan islam itu harus terlebih dahulu memberikan pengetahuan kepada manusia sebagai peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu dengan jati dirinya dengan benar sehingga ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu dalam memosisikan dirinya, baik kepada sesama makhluk, apalagi Sang Khalik Allah SWT.
     Berangkat dari uraian dimuka bisa digarisbawahi bahwa pendidikan adalah sebagai suatu usaha sadar dari orang dewasa dalam mempersiapkan peserta didiknya ke arah kehidupan yang layak, bahagia dan sejahtera dunia dan akhiratnya.

4.   Gagasan Tentang Tujuan Pendidikan Islam
     Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah aktivitas, atau dengan kata lain bahwa tujuan adalah cita-cita akhir dari suatu kegiatan. Tujuan itu lazimnya selalu baik, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.Menurut Syed Muhammad Naquid al-Attas, tujuan pendidikan islam itu selalu berkaitan dengan gagasan dan konsep-konsepnya. Tujuan pendidikan islam menekankan pada tujuan akhir, yakni menghasilkan manusia yang baik, dan bukan masyarakat seperti dalam peradaban barat, atau warga negara yang baik.[12] Dalam perspektif ini adalah individu yang beradab atau yang bijak, yang mengenali dan mengakui segala tata tertib realitas sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas itu. Dan hasilnya nanti mereka akan selalu beramal sesuai dengan kaedah itu sendiri.

5.   Gagasan Tentang Bentuk Sistem Pendidikan Islam
     Menurut Syed Muhammad Naquid al-Attas, pendidikan islam itu harus mencerminkan manusia dan bukan negaranya. Manusia dalam pandangannya adalah bagaikan kerajaan atau negara dalam bentuk kecil, miniatur. Sedangkan tujuan mencari ilmu itu adalah untuk menanamkan kebaikan dan keadilan dalam diri manusia, yaitu manusia universal (Insan al Kamil).
     Insan kamil haruslah menjadi model bagi perumusan sebuah universitas. Manusia dalam pandangan ini bukanlah manusia sembarangan, melainkan manusia yang sempurna yang tercermin dalam pribadi Nabi Muhammad SAW. Demikian juga dengan perumusan pendidikan sebagai suatu sistem, harus menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai model dalam pendidikan tersebut. Hal ini berbeda dengan universitas modern yang mencerminkan negara sekuler, dan kalaupun mencerminkan manusia tentu saja manusia yang sekuler.         Hal ini mungkin saja terjadi, karena peradaban barat ataupun non-islam      tidak mengenal atau tidak pernah merumuskan manusia universal itu, yang dapat dipakai untuk memproyeksikan ilmu pengetahuan dan tindakan yang benar dalam bentuk universitas. Harus diakui bahwa hanya pada diri Nabi Muhammad SAW kita menemukan sosok manusia universal insan kamil.
     Menurut Syed Muhammad al-Attas, universitas islam hendaklah merupakan menjadi pencerminan nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar, dengan fungsi untuk melahirkan manusia-manusia yang baik (insan kamil). Laki-laki atau perempuan semaksimal mungkin dikembangkan kualitasnya sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya sedekat mungkin menyerupai nabi dalam segala tindakan dan pengetahuannya.
     Sesuai dengan kategori ilmunya, universitas islam harus berisikan ilmu-ilmu fadhu ‘ain dan ilmu fadhu kifayah yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta perkembangan metodologi ilmiahnya yang sudah semakin pesat, maka berkembanglah pula ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuk disiplin ilmu dengan kekhususan masing-masing.
     Seorang spesialis dalam satu bidang akan cenderung memandang, menghadapi dan memecahkan problematika hidup sesuai dengan spesialisasi ilmu yang digelutinya. Padahal dalam kehidupan manusia merupakan suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, dalam menghadapi problem hidup diperlukan pendekatan secara menyeluruh dalam suatu sistematika yang terstruktur dengan baik. Syed Muhammad Naquid al-Attas menyatakan bahwa konsep spesialisasi itu tidak akan membawakan makna yang sama didalam konteks kependidikan masa kini. Spesialisasi memang mengacu pada kebutuhan masyarakat dan negara. Tetapi masa kini spesialisasi tidak menghasilkan sesuatu yang penting bagi masyarakat atau negara. Mengingat universitas yang dimaksud olehSyed Muhammad Naquid al-Attas adalah untuk mencermikan manusia universal dan sempurna, maka semua yang terlibat dalam universitas itu haruslah mencerminkan gambaran manusia dalam konsep islam.

6.   Gagasan Tentang Ilmu
     Ilmu merupakan suatu sub sistem yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan islam. Hal ini terlihat dari definisi pendidikan islam menurut Syed Muhammad Naquid al-Attas, yaitu “pendidikan adalah upaya menanamkan sesuatu secara bertahap kedalam diri manusia.”[13] Sesuatu yang ditanamkan melalui pendidikan adalah ilmu, sikap, dan ketrampilan. Namun demikian tidaklah sama dengan konsep yang sudah ditawarkan oleh al-Attas. Dimana beliau mengatakan: bahwa sesuatu yang ditanamkan dalam pendidikan tersebut adalah tujuan dari mencarinya; kendati ia pun mengakui bahwa ilmu merupakan kandungan dari pendidikan tersebut. Lebih lanjut dia mengatakan :
     “Pengajaran dan proses mempelajari keterampilan saja betapapun ilmiahnya dan bagaimanapun yang diajarkan dan dipelajari tercakupnya dalam konsep umum tentang ilmu, tidak harus berarti pendidikan.” Dengan demikian,        ilmu tidak dapat didefinisikan secara ketat. Semua ilmu itu dari Allah            dan dikembangkan menurut kebutuhan manusia, baik kebutuhan spiritual, maupun kebutuhan fisikalnya, yang mengacu kepada Allah sebagaimana asal kedatangannya.
     Al-Attas mendefinisikan ilmu dari sudut epistemologi sebagai sampainya  makna sesuatu pada jiwa dan sampainya jiwa pada makna sesuatu itu. Yang dimaksud makna sesuatu adalah maknanya yang benar, dan disebut makna yang benar ditentukan oleh pandangan islam tentang hakikat dari kebendaan sebagaimana yang memproyeksikan oleh sistem konseptual Al-Qur’an. Karena itu dalam mempelajari ayat-ayat qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah tidak boleh lepas kontrol dari Sang Pemilik dan Penggelar Ilmu tersebut.
     Al-Attas mengklasifikasi ilmu menjadi dua bagian: (1) fardhu ‘ain yang memahaminya pemberian Allah, yang mencakup ilmu-ilmu agama. (2) fardhu kifayah yang memahami ilmu-ilmu capaian manusia yang meliputi ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Secara lengkap ilmu-ilmu itu dibagi menjadi:

a.     Ilmu-ilmu Agama
·         Al-Qur’an
·         Al-Sunnah
·         Al-Syari’ah
·         Teologi
·         Metafisika Islam
·         Linguistik

b.   Ilmu-ilmu Rasional, Intelektual dan Filosofis
·         Ilmu Kemanusiaan
·         Ilmu Alam
·         Ilmu Terapan
·         Ilmu Teknologi
     Setelah mengklasifikasi, seakan-akan tidak ada kaitannya sama sekali, sehingga beliau merasa perlu menegaskan bahwa semuanya itu saling berkaitan. Al-Attas menjelaskan sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, setiap cabang mesti diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep islam, setelah unsur dan konsep asing dibersihkan dari semua cabangnya.[14] Kemudian lebih lanjut al-Attas menjelaskan bahwa kaitannya dengan ilmu rasional, intelektual, dan filosofis itu harus ditambahkan disiplin-disiplin ilmu baru yang mesti dimasukkandi dalamnya, yaitu:
·         Perbandingan Agama
·         Kebudayaan dan peradaban Barat
·         Ilmu linguistic
·         Sejarah Islam
     Sebagai kesimpulan dari keseluruhan uraian di atas, dapatlah dirangkum sebagai berikut:
a.       Konsep agama
b.      Konsep manusia
c.       Konsep pengetahuan
d.      Konsep kearifan
e.       Konsep keadilan
f.       Konsep perbuatan yang benar
g.      Universitas
     Terhadap konsep-konsep itu, kemudian al-Attas menjelaskan lebih lanjut dalam penerapan praktisnya, yang pertama menunjuk kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan dalam proses pendidikan, yang kedua kepada ruang lingkup, ketiga kepada isi, keempat kepada kriteria dalam hubungan dengan yang kedua dan yang ketiga. Yang kelima kepada pengembangan dalam hubungannya dengan yang keempat, yang keenam metode dalam hubungan dengan yang pertama sampai kelima, yang ketujuh kepada bentuk pelaksanaan dalam hubungannya dengan semua yang tersebut terdahulu.
     Dengan demikian terlihatlah bahwa keseluruhan konsep inilah yang membentuk sistem dan konsep serta operasionalisasi dari pendidikan islam, dimana masing-masingnya membentuk suatu paduan yang utuh, menyeluruh dan dalam suatu metodologi yang sistematis.
2.3  Kurikulum dan Metode Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam Islam, sebagaimana diuraikan secara mendalam oleh Al-Attas, adalah menciptakan manusia yang baik, seorang manusia beradab dalam pengertian yang komprehensif. Sekedar mengingtkan kembali secara singkat, adab menurut Al-Attas, mencakup suatu pengenalan dan pengakuan mengenai tempat sesuatu secara benar dan tepat; pencapaian kualitas, sifat-sifat, dan perilaku yang baik untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa; penonjolan tingkah laku yang benar dan tepat sebagai kebalikan dari tingkah laku yang salah dan tidak sesuai. Oleh karena itu, adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode mengetahui yang benar agar mampu menjaga manusia dari kesalahan penilaian dan perbuatan sehingga manusia dapatmemposisikan dirinya pada tempat yang benar dan sesuai. Ilmu pengetahuan yang bisa mendorong lahirnya perilaku mulia ini adalah kebijaksanaan (hikmah) yang menghasilkan keadilan (‘adl) pada diri individu, masyarakat, dan alam sekitarnya.
Pendidikan adalah proses ganda, bagian pertamanya melibatkan masuknya unit-unit makna (ma’na) suatu objek pengetahuan kedalam jiwa seseorang (hushul) dan yang kedua melibatkan sampainya jiwa (wushul) pada unit-unit makna tersebut. Ini semua menunjukkan pengetahuan mengenai realitas individu: hakikat yang sesungguhnya, daya pikirnya, jiwa, dan kecenderungan etikanya, juga peranan serta tanggung jawabnya di dunia dan tujuan akhiratnya di akhirat. Sepanjang sejarah Islam, sebelum zaman sekuler sekarang ini, masalah-masalah ini sangat penting dalam kurikulum pendidikan di semua jenjang: arah dan tujuan, muatan materi, metode, dan evaluasi peserta didik dan guru.
Di sini tampak sangat jelas di mata hati kita bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai realitas tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta’dib. Sebelum pembahasan lebih jauh, perlu ditegaskan di sini agar berhati-hati dalam memahami istilah kami “metode pendidikan” pada judul di atas dalam konteks filsafat pendidikan Al-Attas. Dia menganggap pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang sebenarnya tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. Dia berpendapat bahwa dalam proses pembelajaran, siswa akan mendemonstrasikan tingkat pemahaman terhadap materi secara berbeda-beda, atau lebih tepatnya pemahaman terhadap makna pembelajaran itu. Hal ini karena ilmu dan hikmah yang merupakan dua komponen utama dalam konsepsi adab benar-benar merupakan anugerah Allah SWT.
a.      Persiapan Spiritual
Sebagaimana halnya semua tindakan atau perbuatan dalam Islam, pendidikan harus didahului oleh suatu niat yang disadari, seperti penyataan yang sering kita dengar dalam hadis, “perbuatan seseorang itu berdasarkan niat (niyyah) dan Allah akan memberikan pahala sesuai dengan niat hamba-Nya. Prinsip dasar tindakan ini tidak dapat diberi penekanan secara berlebihan sebab konsep keikhlasan, kejujuran, dan kesabaran juga sangat penting dalam Islam. Abu Sa’id Al-Kharraz, seorang sufí terkenal abad 9 M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan, di samping kebenaran dan kesabaran. Peserta didik harus mengenal prinsip ini sejak dini dan harus mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kualitas imannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di samping amal perbuatannya yang lurus dan ikhlas. Ketika memberikan komentar terhadap Al-Quran Surah Al-Kahfi (18):110, Al-Kharraz menjelaskan bahwa ikhlas berarti seseorang harus mendasarkan segala perbuatannya hanya karena Allah, secara lahiriah dan batiniah, dengan akal dan pengetahuan yang melindungi jiwa dan hatinya serta terus-menerus mengawasi tujuannya. Sejalan dengan itu, hendaknya ia tidak usah mencari sanjungan dan pujian, atau menunjukkan kelebihan dirinya di hadapan orang lain. Jika dihargai, ia akan cepat-cepat mengembalikan penghargaan itu hanya kepada Allah demi perlindungan dan pertolongan-Nya.
Di samping kesabaran, Al-Attas menekankan kejujuran dan keikhlasan niat dalam mencari dan mengajarkan ilmu. Kejujuran menurut Al-Attas adalah sifat dari ucapan atau pernyataan, seperti kesesuaiaannya dengan fakta-fakta eksternal dan realitas, dan yang tidak kalah pentingnya adalah, kesesuaiaanya niat dalam hati. Hal ini berarti, di samping kesesuaian tipe pertama ada pula kesesuian tipe kedua, yaitu kesesuian antara statemen yang diucapkan dengan niat dalam akal dan hati. Tingkah laku eksternal (termasuk yang diucapkan secara lisan atau tertulis) dan fakta-fakta atau realitas yang tampaknya benar dapat menjadi biasa jika hal itu tidak sesuai dengan ini dalam hati dan akal. Al-Quran menggarisbawahi pandangan penting ini dalam beberapa kata saja ketika Tuhan menyatakan bahwa kaum munafik pada kenyataannya berdusta meskipun telah menyatakan dengan benar bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Kesabaran juga signifikan dalam menuntut jenis ilmu yang akan membawa pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kesabaran terbagi dalam dua tingkat, yaitu (1) kesabaran dalam menjalankan segala perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari; (2) kesabaran dalam meninggalkan segala larangan Allah dan dalam menahan nafsu. Di samping kedua hal ini, ada dua hal lain yang mungkin tidak bisa dicapai oleh siapapun, yaitu (3) kesabaran dalam menjalankan kegiatan-kegiatan spiritual dan amal ketakwaan untuk mencari kesempurnaan di dunia; (4) kesabaran dalam menerima kebenaran dari sumber manapun.[15]
Al-Attas sependapat dengan Ikhwan Al-Shafa yang menjadikan ahli-ahli hikmah lebih tinggi dari guru biasa. Jika ingin membuka pintu hikmah bagi guru-guru dan menyingkap rahasia kepada peserta didik, para ahli hikmah menyarankan bahwa mereka (guru dan peserta didik) “harus” dijinakkan dan disucikan jiwanya melalui ta’dib. Dalam konteks ISTAC, Al-Attas menggarisbawahi bahwa peserta didik dan ilmuwan harus datang bersama karena kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan Islam, niat mereka untuk memahami ajaran-ajaran dan sejarahnya, dan membantu ISTAC dalam melaksanakan arah dan tujuan institusionalnya. Dia mengecam kondisi beberapa ilmuwan kontemporer yang bersikap hanya sebagai serdadu akademis. Dalam semangat filosofis Yunani, mereka mengiklankan dan memperdagangkan produk untuk keuntungan gaji dan keistimewaan-keistimewaan dari orang awam, sebagai politisi yang kuat, dan figur pengusaha. Situasi ini merupakan akumulasi dari ideologi ekonomis yangsedang berlaku[16] di pelbagai penjuru Dunia Muslim, yang mengakibatkan sikap-sikap mahasiswa secara umum cenderung memilih program akademik, yang dalam segi sosial-ekonomi lebih menjanjikan dan dalam segi biaya sangat murah, tetapi secara akademik jumud. Karena konsistensi dan pendiriannya yang tak tergoyahkan dalam hal keikhlasan niat itu, Al-Attas memisahkan diri dari bekas kawan-kawan dan mahasiswanya yang mencari ketenaran, kedudukan, kekuasaan; mendukung pemimpin yang korup; dan, langsung atau tidak langsung, mempropagandakan ide-ide yang salah dan membingungkan dalam bidang agama dan budaya. Dalam merekrut mahasiswa atau staf, Al-Attas selalu menasehatin dirinya untuk tidak menjanjikan apapun yang bersifat material kepada mahasiswa dan staf kami. Pemikiran ini yang sangat penting dalam menguasai ilmu pengetahuan karena Tuhan Yang Maha Kuasa yang menjadi sumber dan pemberi ilmu dan kebijaksanaan mengetahui mereka-mereka yang benar layak mendapatkan anugerah-Nya.
b.      Kebergantungan pada Otoritas dan Peranan Guru
Pendidikan dalam Islam berlandasakan sumber-sumberyang jelas mapan, yang pemahama, penafsiran, dan penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang otoritatif. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak. Al-Quran juga memerintahkan umat Islam untuk bertanya mengenai kebenaran kepada orang yang tepat dan otoritatif di bidangnya jika tidak mengetahui sesuatu. Konsultasi kepada mereka yang ahli dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman pada akhirnya menjadi kewajiban bagi seorang Muslim, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan berkembang menjadi ciri masyarakat. Salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah pencarían dan pengakuan otoritas yang benar dalam setiap cabang ilmu dan pengetahuan, sebuah prinsip yang diikuti dan dipraktikkan oleh Al-Attas. Dia mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan laki-laki dan perempuan yang benar-benar mengikuti Sunnahnya, memiliki derajat pengetahuan, kebijaksanaan, dan pengalaman spiritual, yang selalu mempraktikkan agama dalam tingkatan ihsan. Hal yang perlu diperhatikan ketika berhadapan otoritas ini adalah sifat rendah diri, hormat, ikhlas, dalam menerima sikap intelektual mereka, memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan menafsirkan, di samping juga dapat mencurahkan rasa kasih sayang terhadap mereka.
Oleh karena itu, peranan guru sangat penting. Peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru. Sebaiknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik dalam bidang yang ia gemari. Pentingnya mendapat guru yang memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu menjadi suatu tradisi,[17] tetapi Al-Ghazali mengingatkan dan menekankan peserta didik untuk tidak bersikap sombong, tetapi harus memerhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan dan tidak hanya berlandaskan kepada mereka yang termasyhur atau terkenal.
Peserta didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacam-macam. Sebaiknya, ia menguasai teori sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan guru. Guru pun seharusnya tidak menafikan nasehat yang datang dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemampuannya. Guru juga harus memahami kemampuan peserta didik dan mengoreksinya penuh dengan rasa simpati. Peranan guru dan otoritas pendidikan Islam yang berpengaruh dan sangat penting itu tidak berarti menekan individualitas peserta didik, kebebasannya atau kreativitasnya. Al-Attas menganggap bahwa taklid sekalipun, seperti yang dipahami dan dipraktikkan oleh sebagian generasi muslim pilihan, mensyaratkan adanya tingkat pengetahuan dan praktik nilai-nilai etika, termasuk saling memercayai. Dia membantah pemahaman bahwa taklid hanya sebatas proses peniruan buta yang memandulkan kemampuan rasional dan intelektual seseorang.
Sebaliknya, mempraktikkan taklid, atau menyerahkan pada otoritas tertentu, membutuhkan pengetahuan murni atau suatu masalah dalam rangka membedakan antara pelbagai pandangan ahli mengenai hal itu. Jadi, menurut Al-Attas, taklid tidaklah berseberangan dengan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan suatu sifat alami dan positif pada tahap awal perkembangan penuntut ilmu atau seseorang tidak berkesempatan mengecap pendidikan dan pelatihan yang cukup untuk memahami alasan dan bukti-bukti secara detail.
Ibn Hazm, satu dari ilmuwan yang tidak setuju dengan taklid, tampak bertentangan dengan alasannya sendiri ketika membolehkan taklid untuk diamalkan jika keputusan ilmuwan sesuai dengan perintah Allah serta sabda dan perilaku Nabi. Untuk memutuskan apakah pandangan ilmuwan selaras dengan Al-Quran dan Sunnah atau tidak, diperlukan beberapa tingkat pengetahuan. Bagaimanapun, di sisi lain Ibn Hazm tidak menganggap penerimaan hadis yang sahih dari Nabi dan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan dalam ayat-ayat Al-Quran dengan makna-maknanya yang jelas sebagai taklid karena taklid, menurutnya, adalah penerimaan kata-kata seseorang selain Nabi, dan yang dilakukan tanpa sebuah bukti.
Berbeda dari ilmuwan Muslim modern, Al-Attas melanjutkan tradisi Islam terdahulu dalam hal otoritas dan mengaplikasikan ide universal mereka secara kritis dan kreatif untuk menyelesaikan banyak permasalahan yang dihadapi. Dia dikecewakan oleh pemborosan aset intelektual yang dilakukan oleh para ilmuwan; mereka mampu merevisi dan menerjemahkan karya-karya dari para pemikir besar Muslim secara efektif, bahkan mengajarkan ide-ide mereka di universitas, tetapi tidak cukup mampu mengaplikasikan ide-ide dan menginterpretasikannya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan modern yang kita hadapi. Lebih buruk lagi, Al-Attas melihat bahwa banyak guru dalam pemikiran Islam bahkan tidak mencerminkan ide-ide dan kepribadian yang mulia dalam kehidupan pribadi mereka. Banyak guru filasafat yang, misalnya, tidak menunjukkan dasar-dasar berpikir logis dalam menyelesaikan urusan pribadi mereka sendiri.
Penghormatan kepada guru hanya bisa menjadi kenyataan jika para guru tidak hanya memiliki otoritas secara akademik dalam bidang mereka, tetapi juga memberikan contoh moral secara konsisten. Sama seperti guru-guru terkenal dalam sejarah Islam, Al-Attas mengajarkan dan mempraktikkan hubungan murid dan guru menjadikan loyalitas dan keikhlasan sebagai sifat yang sangat penting. Sepanjang tahun1960-an dan 1970-an dia sangat aktif membimbing pergerakan pelajar dalam universitas nasional yang telah banyak membantu mengorientasikan perjuangan mereka dengan isu-isu yang memiliki kepentingan mendasar ke arah kemajuan nasional, seperti masalah kebudayaan dan bahasa nasional, sekularisasi, westernisasi, dan islamisasi. Rumahnya menjadi sebuah sekolah, tempat ia biasanya menghabiskan waktu yang tak terbatas, menjelaskan Islam dan masalah-masalah lain yang penting seperti hal di atas kepada para pelajar dari pelbagai perguruan tinggi di negeri tersebut.



c.       Hierarki Ilmu Pengetahuan
Al-Attas berependapat secara konsisten bahwa muatan pendidikan itu sangat penting dan karena itu merupakan prioritas tertinggi dibandingkan metodenya, meskipun lembaga-lembaga pendidikan Muslim modern sekuler, yang berada di bawah pengaruh ide-ide dan praktik-praktik pendidikan Barat, lebih menekankan metode yang telah ia permasalahkan. Pada 1970, dia mengingatkan pemerintah Malaysia untuk tidak membenarkan kecenderungan ini.
Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional. Dalam hal ini, Al-Attas sepakat dengan Al-Ghazali bahwa kemuliaan sebuah ilmu ditentukan oleh buahnya dan keaslian prinsip-prinsipnya, dan yang pertama itu lebih penting dari yang kedua. Sebagai contoh, walaupun tidak setepat ilmu matematika, ilmu kedokteran lebih penting bagi seseorang. Begitu juga, ilmu agama adalah lebih mulia daripada ilmu kedokteran.
Pembagian ilmu pengatahuan ke dalam berbagai kategori umum bergantung pada pelbagai pertimbangan. Berdasarkan metode mempelajarinya, kita memiliki pengetahuan iluminatif atau gnmositik dan pengetahuan ilmiah. Kategori pertama adalah yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang diterima oleh Nabi kemiduan diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan ilmuwan. Kategori kedua berdasarkan pengalaman empiris dan akal. Ilmuwan menamakan kedua kategori ini sebagai ilmu naqliyyah dan ilmu aqliyyah ataupun tarbiyah. Bagaimanapun, jika dilihat dari segi kegunaannya bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu yang baik dan yang tidak baik.
d.      Dimensi-Dimensi Tambahan
Terdapat beberapa aspek dari kurikulum yang diusulkan Al-Attas yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu peranan bahasa, metode tauhid untuk menganalis ide, dan instrumen didaktik lainnya, seperti metáfora, perumpamaan, dan cerita. Sementara dimensi-dimensi ini menjadi komponen pendidikan yang sangat penting bagi ilmuwan Muslim pada masa lalu, kemampuan dan konsistensi Al-Attas mengaplikasikan dimensi ini dalam dunia modern merupakan faktor penyebab yang menjadikan dia sebagai salah seorang ilmuwan yang sangta dihormati dan dihargai, juga ahli debat yang disegani dalam Dunia Muslim kontemporer.
e.       Peranan Bahasa
Pendidikan, seperti halnya lembaga-lembaga penting lainnya bagi umat manusia, seperti agama, hukum, politik, perdagangan, dan bisnis adalah produk dari bahasa dan bergantung pada bahasa. Hal ini karena pendidikan melibatkan komunikasi, interpretasi, analisis, síntesis, internalisasi dan aplikasi konsep-konsep, ide-ide, sekaligus merefleksikan realitas, yang kesemuanya sangat memerlukan peranan bahasa. Ini adalah sebuah kenyataan yang diakui oleh cendekiawan Muslim seperti Ibn Khaldun, dan diperjelas dan diaplikasikan oleh Al-Attas ke dalam isu spesifik islamisasi dan sekularisasi. Karena berakar pada visi yang jelas mengenai realitas dan kebenaran yang berasal dari wahyu yang telah diturunkan terakhir kalinya dalam bahasa arab, pendidikan islam memiliki kedalaman linguistik dan kesusastraan walaupun tidak bersifat eksklusif.
Adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa di kalangan pemikir Muslim kontemporer, hanya Al-Attas yang sadar akan kepentingan mendasar bahasa sebagai alat dan sarana keagamaan, kebudayaan, dan peradaban. Tentunya, banyak pemimpin Muslim yang berjuang melawan penjajah mengemukakan kebijakan untuk memperkenalkan dan mengembangkan bahasa kebangsaan mereka. Namun, kenyataan bahwa beberapa bangsa, seperti Turki, Malaysia, dan Indonesia telah mengubah tulisan arab mereka pada tulisan latin, jelas menunjukkan bahwa para pemimpin politik dan budaya itu tidak sadar akan pengaruh yang diakibatkan oleh peubahan drastis ini. Sebaliknya, jika benar-benar mengerti kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dan merusak agama dan kebudayaan, mereka pasti akan merasa bersalah karena melakukan kriminalitas yang serius terhadap integritas keagamaan, keaslian intelektual, dan identitas kultural mereka sendiri.
Meskipun tampak lebih beruntung karena telah melestarikan tulisan Arab, struktur semantik bahasa itu sendiri dan pandangan hidup yang diproyeksikannya, seperti yang yang diperhatikan oleh Al-Attas secara tajam mengenai situasi di negara-negara Arab, Pakistan, dan Iran, telah banyak berubah akibat penggerogotan sekularisasi sebagi program filsafat. Kondisi ini juga tercermin dalam kenyataan bahwa pemimpin politik, agama, dan budaya dalam kalangan bangsa tersebut tidak menyadari situasi yang sesungguhnya. Jika mereka secara sadar mengubah struktur semantik bahasa Arab modern resmi, kesalahan pada pemimpin ketiga negara yang disebutkan diawal lebih dalam daripada kriminalitas kultural. Sebab bahasa Arab, sebagaimana disampaikan tanpa henti-hentinya oleh Al-Attas, bukanlah milik bangsa Arab saja, melainkan merupakan milik Islam dan seluruh umat Islam. Hal ini berarti segala perubahan dasar dalam struktur semantik istilah-istilah dan konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam bahasa Arab akan mengakibatkan kebingungan dan kerancuan dalam kehidupan keagamaan dan kebudayaan semua Muslim.
f.       Metode Tauhid
Salah satu karakteristik pendidikan dan epistimilogi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Al-Attas apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan. Metode tauhid ini menyelesaikan problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif ilmu pengetahuan. Sayangnya, apa yang dianggap objektif dianggap lebih nyata dan karena itu lebih valid daripada yang subjektif. Metode ilmu pengetahuan alam yang diklaim lebih objektif dianggap memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan ilmu agama, yang dianggap subjektif. Dalam penulisan sejarah Islam dan Melayu, misalnya, penulis yang berpikiran Barat beranggapan bahwa sumber-sumber local harus dicurigai karena dianggap subjektif dan tidak sepenuhnya objektif. Karena anggapan ini, mereka meninggalkan penggunaan sumber-sumber lokal pada tingkat yang mengecewakan. Memang, penafsiran Barat terhadap pelbagai aspek Islam dan sejarahnya dianggap lebih valid karena mereka melihat dari luar dan lebih objektif. Anggapan mereka yang biasa meragukan sumber lokal dapat dipahamidari apa yang diungkapkan Teeuw, “Dalam literatur Melayu, penyalin selalu berpotensi untuk menjadi penulis ulang.” Inilah salah satu sebab mengapa “kita tidak pernah mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai literatur Melayu periode awal (yaitu syair Melayu). Penyataan umum dan tidak akurat ini menurut Al-Attas mengindikasikan “keaslian dan kebenaran semua manuskrip melayu di dalam keseluruhan sastra melayu harus diragukan kecuali ‘dibuktikan’ sebaliknya dan selamanya akan tetap menjadi korban kegagalan untuk mencapai kepastian dan pengetahuan yang lebih tepat. Al-Attas menekankan dan menerangkan di beberapa tempat bahwa yang objektif dan yang subjektif tidak dapat dipisahkan, sebab hal itu merupakan aspek dari realitas yang sama sehingga satu sama lain melengkapi. Sebagai contoh, dalam rangka mencari kata kunci secara objektif mengenai sistem mistik Hamzah Fanshuri, Al-Attas harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bahasa, pemahaman penuh mengeani struktur makna dan partisipasi penuh dalam kesadaran linguistik karya-karya Hamzah Fanshuri. Ditambah lagi, dia memasuki kedalaman alur emosi tasawuf Melayu, melalui Hamzah sebagai representasi terbesar dan terbaik, menghayati perasaan-perasaannya, dan merasakan cara-caranya dalam membuat simbol-simbol.
Metode tauhid Al-Attas menjadi sangat pribadi sehingga ia sering jengkel ketika beberapa orang yang merasa telah memahami agama Islam, konsep-konsep, dan prinsip-prinsipnya etikanya bertanya mengenai cara mengimplementasikan masalah-masalah ini ke dalam kehidupan dan profesi pribadi mereka. Al-Attas menggarisbawahi bahwa jika seseorang telah benar-benar memahami ini semua, pertanyaan itu tidak diperlukan lagi. Dia sering menekankan bahwa tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori, seseorang mestinya mampu melaksanakannya dalam praktik, kecuali jika terhalang oleh sebab-sebab eksternal yang tidak dapat dielakkan.
g.      Pancaindra, Akal, dan Intuisi
Sejalan dengan Ibn Sina, Al-Ghazali, dan banyak tokoh Islam terkenal lainnya, Al-Attas membenarkan adanya kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa manusia dan proses kognitif, kemampuan tersebut diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat. Sebab Islam, mengakui validitas pelbagai saluran ilmu pengetahuan, seperti pancaindra, verita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung dalam akidah. Selanjutnya sebagaimana telah diterangkan Al-Attas dalam diskusinya mengenai manusia dan psikologi jiwa manusia, jiwa adalah realitas tunggal dengan empat keadaan yang berbeda, seperti intelek, jiwa, hati, dan ruh yang masing-masing terlibat dalam kegiatan-kegiatan manusia yang bersifat kognitif, empiris, intuitif, dan spiritual. Sejauh pengamatan penulis, Al-Attas telah menerapkan metode tauhidnya ini dalam kehidupan pribadi dan kegiatan pendidikan dan akademis.
Tidak seperti sebagian pemikir Muslim kontemporer, ketika mengaplikasikan ide-ide atau prinsip-prinsip yang relevan dari Al-Quran dan hadis Nabi, Al-Attas tidak membuat garis pemisah antara domain spiritual, intelektual, dan saintifik. Dia menganggap Al-Quran dan hadis Nabi sebagai samudera ilmu pengetahuan dan hikmah yang tak terbatas. Walaupun interpretasi dalam bidang doktrin keagamaan dari kedua sumber ini telah final, masih terdapat kemungkinan untuk intensifikasi yang berkaitan dengan aspek-aspek saintifik dan natural, melalui interpretasi untuk pengkajian lebih lanjut atau penafsiran yang lebih baru. Al-Attas menyebutkan bahwa dia sangat terkejut dengan pernyataan peraih hadiah Nobel, Abdus Salam (W. 1996), yang menyatakan bahwa dia (Abdus Salam) tidak dapat membawa Tuhan dan agama dalam pengkajian sains yang dilakukannya. Sebaliknya, Al-Attas berkomentar bahwa orang-orang bijak dan para teolog Muslim terdahulu, meskipin tanpa alat-alat saintifik modern, melalui pengalaman intuitif, dapat memahami hakikat yang sebenarnya mengenai alam semesta yang diciptakan sebab mereka memahami Tuhan dan menerapkan prinsip-prinsip teologi dan spiritual. Teolog Muslim dan sufí intelektual telah menafsirkan secara benar bahwa seluruh alam semesta ini tidak permanen dan tidak kontinu, ia selalu ditiadakan dan diciptakan kembali menjadi baru.
Walaupun meyakini pentingnya pengalaman empiris sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah, Al-Attas tidak berpegang pada pendapat yang saat ini berlaku di Barat, bahwa kebenaran itu semata-mata merupakan hubungan antara proposisi dan fakta-fakta empiris, sebab fakta-fakta itu dapat ditemukan dan menjadi palsu jika diletakkan di tempat yang salah. Sebagai contoh, kedokteran modern dapat mengubah seorang laki-laki menjadi perempuan, tetapi fakta tersebut mungkin saja salah, sebab sifat feminim dan maskulin buaknlah sekedar penampilan luar. Demikian juga teknologi modern dapat menciptakan mesin yang dapat berbicara, bergerak, bahkan berpikir seperti manusia biasa, tetapi produk itu bukan manusia dan tidak dapat membawa tanggung jawab serta menikmati keutamaan seorang manusia.
Beberapa penulis menolak tasawuf karena kesalahan-kesalahan yang mencolok yang dilakukan individu-individu yang menyebut diri mereka sufi.Al-Attas dengan keras mempertanyakan keabsahan argumentasi mereka dengan mengatakan bahwa seorang tidak dapat menafikan manfaat ilmu hanya karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pengamal-pengamalnya dan orang-orang yang mengaku sebagai pengamalnya. Jika asumsi-asumsi yang salah seperti itu dibiarkan dan bahkan dianggap sebagai sasuatu yang prinsipil, semua ilmu yang absah juaga akan ditolak, sebab di dalam pelbagai macam ilmu, seperti fikih, teologi, filsafat, dan ekonomi juga terdapat penyelewengan, salah penafsiran, dan salah pelaknasanaan. Orang tidak boleh menolak ilmu hanya karena segelintir orang yang dinamakan ulama melakukan kesalahan, begitulah Al-Attas biasa mengatakan, tampaknya dia menirukan Al-Ghazali seperti yang dia katakan sebelumnya. Al-Attas juga menunjukkan pandangan sofís beberapa pemimpin politik Muslim yang kontradiktif. Mereka menyatakan memiliki hak untuk mengeluarkan komentar resmi mengenai persoalan agama karena keslahan yang dilakukan oleh ulama, meskipun mereka mengakui tidak memiliki otoritas dalam masalah agama. Sekarang, jika ulama yang telah belajar sekurang-kurangnya suatu disiplin ilmu tertentu melakukan kesalahan, para politisi yang mengaku dan jelas-jelas bodoh (mengenai agama) pasti melakukan kesalahan-kesalahan fundamental yang tak terhingga jumlah dan besarnya.
Politisi dan teknokrat masa kini telah membuat sinyalemen-sinyalemen mengenai pentingnya krativitas dalam pendidikan. Namun, sayangnya mereka mengakui dan menganggap aktivitas seseorang itu bisa disebut kreatif hanya jika berasal dari imajinasi indriawi yang berkaitan dengan teknologi, kesenian, dan kerajinan tangan. Jadi, pelajaran berpikir kreatif di sekolah-sekolah dibatasi pada masalah-masalah yang berkaitan dengan teknologi. Mata kuliah penulisan kreatif di perguruan tinggi pun dibatasi pada masalah-masalah yang berkaitan dengan penulisan fiksi. Karya-karya ilmiah yang akurat tidak dianggap kreatif. Teknologi, seperti juga kesenian, adalah produk imajinasi jiwa yang bersifat indriawi, bukan imajinasi yang bersifat kognitif. Imajinasi kognitif dilupakan oleh para politisi dan pakar pendidikan sehingga, pada beberapa masyarakat Muslim, mereka mengenal dan mengakui kegiatan ilmiah dengan setengah hati. Al-Attas pada hakikatnya tidak menolak pentingnya pelatihan dan pengembangan aspek manusiawi ini, tetapi baginya hal ini harus merupakan hasil perkembangan jiwa imajinasi kognitif sebelumnya; jika tidak, hasil perkembangannya menjadi kasar, liar, dan tragis. Dia mengingatkan bahwa apa yang dinamakan pembangunan di beberapa negara Islam sekarang ini menggambarkan tidak adanya kesehatan spiritual, sosial, kultural, dan lingkungan serta kesejahteraan. Di antara ciri-ciri kebudayaan adiluhung pada masa lalu yang abadi dan berbobot adalah adanya integrasi antara jiwa imajinasi kognitif dan indriawi, yang secara khusus tampak dalam pelbagai karya keagamaan, yang didorong oleh semangat keagamaan.
h.      Penggunaan Metafora dan Cerita
Ciri-ciri pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang juga banyak digunakan Al-Qur’an dan Hadits, efektivitas metode ini tidak diragukan lagi, meskipun didalam sejarah pendidikan barat. Al-Attas dalam salah satu karyanya yang berjudul Rangkaian Ruba’iat, al-Attas menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh para sufi pada masa lampau, untuk menyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai cerminan realitas absolute. Dia membantah bahwa waktu bagaikan arus mengalir, bahkan membandingkan dengan sebuah titik imajiner yang terus menerus dihilangkan dan dikembalikan dalam tampilan yang sama secara halus dan tidak putus-putus. Disini beliau menyinggung penciptaan yang terus menerus dan subjektivitas waktu yang terangakai serta bermulanya beberapa dari satu.

Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Al-Attas adalah metafora papan penunjuk jalan untuk melambangkan sifat teleologis alam dunia ini. Dunia ini bagaikan papan penunjuk jalan yang memberi petunjuk kepada musafir arah yang harus di ikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika tanda papan itu jelas, musafir akan menempuh jalannya tanpa ada masalah apapun. Namun jika papan itu terbuat dari marmer yang dibentuk indah dan dilapisi emas murni dan juga batu permata, maka sang musafir akan berhenti disitu untuk mengagumi, mencermati, dan menyelidiki aspek-aspeknya. Dalam keadaan ini, papan itu tidak lagi menunjukkan arah yang berguna bagi sang musafir.
Untuk menekankan gagasan awalnya bahwa pada setiap objek ilmu pengetahuan terdapat batas kebenaran, al-Attas banyak menggunakan analogi kursi untuk menjelaskan bagaimana riset dan pengetahuan modern telah kehilangan focus dan melampaui batas-batas kebenaran. Dia mengatakan bahwa batas kebenaran ilmu pengetahuan mengenai kursi berhubungan dengan maknanya, yaitu berkaitan dengan kegiatan duduk manusia. Namun jika seseorang meneliti kursi dalam kaitannya dengan desain kursi itu, komposisinya, sehingga menyentuh masalah struktur atomnya dan sebagainya, tentunya seseorang akan dapat mengumpulkan informasi menarik dan mungkin juga bermanfaat. Namun tujuan asal penyelidikan apakah kursi itu, tidak akan terjawab dan sebenarnya akan menjadi lebih problematik karena tertimbun oleh data-data yang bertumpuk.
Al-Attas menyampaikan gagasan mengenai keindahan dalam islam yang permanen, yang bertentangan dengan kondisi temporer umat islam yang negative, dan kesalahan mereka dalam mengamati fenomena kondisi itu secara ekstrem serta mereka yang tertutup matanya untuk mengenali keindahan itu. Selain itu al-Attas juga gemar mengibaratkan cendekiawan yang menguasai ilmu secara dalam sebagai pohon yang besar dengan akar-akar yang dalam, subur, kukuh, dan kuat. Dia bandingkan pohon itu dengan tanaman pot, yang tidak saja lemah dan mudah pecah oleh tekanan yang ringan, tetapi juga mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Demikian dengan cendekiawan yang memiliki ilmu yang mendalam akan mudah menerima dan membenarkan kebenaran yang diwahyukan,3 yang dari situ ia menemukan pandangan intelektualnya, dan karena itu tidak mudah mengubahnya agar sesuai dengan situasi yang terus berubah.
Wajah islam dalam panggung sejarah dan pelbagai persamaannya dengan yahudi dan nasrani telah melahirkan tuduhan yang terus menerus bahwa islam meniru beberapa aspek dari kedua komunitas agama terdahulu ini. Dalam menjawab tuduhan tersebut, al-Attas berargumentasi dengan cerita. Seandainya, katanya, terdapat seorang raja yang membayar pelukis handal untuk duduk pada suatu lokasi yang disukai dan melukis pemandangan didepannya. Setelah beberapa lama lukisan itu rusak dan pelukisnya sudah meninggal dunia, raja itu memerintahkan seniman lainnya untuk melukis pemandangan yang sama dan duduk ditempat yang sama. Setelah beberapa tahun, seniman kedua juga meninggal dan lukisannya mengalami nasib yang sama dengan pelukis yang pertama. Raja itu memerintahkan seniman lain, seniman yang terakhir, agar mengulangi apa yang telah dilakukan kedua pelukis tersebut dan memastikan untuk lukisan terakhir ini menggunakan bahan yang bagus dan tidak mudah rusak. Sekarang jika setelah beberapa tahun ada orang yang menemukan ketiga lukisan tersebut, sudah tentu ia menyimpulkan bahwa pelukis terakhir telah meniru kerja pelukis terdahulu, meskipun kenyataannya itu semua adalah kerja independen yang disatukan oleh kesamaan pengalaman dan diperintah raja yang sama.








BAB 3
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Dari berbagai deskripsi di atas, dapat diketahui bahwa secara orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah kepada pendidikan yang bercorak moral religious yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat pada konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal.
Pada dasarnya paradigma yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral transcendental (efektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif dan psikomotorik. Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Apabila ditelaah dengan cermat, format pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.Jadi berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan, yaitu :
a.       Penetapan konsep yang tepat untuk digunakan dalam pendidikan islam sebagaimana didefinisikan dalam hal ini adalah Ta’dib, bukannya Tarbiyah atau Ta’lim. Hal ini dikarenakan dalam Ta’dib itu sudah mencakup kedua hal tersebut.
b.      Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas adalah Insan Kamil atau manusia universal. Hal ini merujuk pada pribadi Nabi SAW, yang merupakan perwujudan manusia sempurna, sedangkan pendidikan diarahkan pada terwujudnya potensi dan bawaan manusia sehingga bisa sedekat mungkin menyerupai Nabi SAW.
c.       Melihat realita dalam dunia pendidikan dewasa ini, kiranya menuntut untuk mengubah konsep dasar pendidikan islam yang selama ini digunakan dalam pendidikan islam. Hal ini dikarenakan sifat-sifat konsep tersebut yang tidak sesuai dengan konsep dasar pendidikan islam sebagaimana yang dikehendaki.

DAFTAR PUSTAKA

As Said, Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011.
Aziz, Abd, Filsafat Pendidikan Islam,(Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam),Yogyakarta: Teras, 2009.
Nizar, Samsul,Filsafat Pendidikan Islam,(Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis), Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Mahrus, Erwin dan Syamsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Badaruddin, Kemas, Filsafat Pendidikan Islam, (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Al-Naquib al-Attas), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 1998. Terj. Hamid Fahmy, dkk, (Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas), Bandung: Mizan, 2003.



[1] Hasan Mu’arif Ambary, SuplemenEnsiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ikhtiar van Hoeve), 1995, hal. 78.
[2] H. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Yogyakarta: Kalam Mulia), 2009, hal.300.
[3] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan), 1990, hal. 68-69.
[4] H. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan…., (Yogyakarta: Kalam Mulia), 2009, hal. 301.
[5] Al-Attas, Islam dan Sejarah…., (Bandung: Mizan), 1990, hal.11.
[6] M.A. Jawahir, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Pakar Agama, Pembela Akidah dan Pemikiran Islam yang dipengaruhi Paham Orientalis, dalam Panji Masyarakat, no.603, 1989, hal.54.
[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas, islam and Secularism, Terj. Karsidjo Djojosuwarno, Bandung:Pustaka ,1981, hal.203. Dengan rujukan QS. al-Hijr:29; al-Mu’minun:12-24.
[8] Lihat al-Attas Islam and Secularism, hal. 205.
[9] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta:Yayasan Wakaf Paradigma,1992), hal. 41.
[10] Al-Attas, Islam and….., hal.96; dan hal. 205; Bandingkan dengan QS. al-Dzariyat : 56.
[11] Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Haidar Baqir, (Bandung:Mizan,1987), hal.35
[12] Al-Attas, Konsep Pendidikan…., hal.54; Islam and Secularisme…., hal. 221.
[13] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hal.238.
[14] Al-Attas, Konsep Pendidikan…., hal. 90
[15] ‘Abd Al-Amiz Syam Al-Din, Al-Falsafah Al-Tarbawi ‘inda Al-Ikhwan Al-Shafa’,  1988, hal. 154-155
[16]Stuart Hall, “Gramsci’s Relevance for the study of Race and Ethnicity”, journal of Comunication Inquiry, 1986. Dikutip dalam W.W. Apple, Ideology and the State in Education Policy, (PhiladelPhia: Open University, 1989), hal. 10.
[17] D.F. Eickelman, Islamic Education and its Social Reproduction, 1978, hal. 485-516.